Artikel dan Makalah wacana Sejarah Pembentukan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), Tugas, Tujuan, Latar Belakang, Anggota, Tokoh, Sidang 1 dan 2 - Pada 1944, kedudukan tentara Jepang di medan Perang Pasifik makin terdesak. Di banyak sekali medan pertempuran, Jepang menderita kekalahan. Ditambah dengan timbulnya pemberontakan oleh rakyat Indonesia maka kedudukan Jepang semakin terjepit. Pertahanan Jepang sudah ringkih dan bayangan kekalahan sudah semakin nyata. Namun, Jepang masih berusaha menarik simpati rakyat Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan di lalu hari. (Baca juga : Dampak Penjajahan / Pendudukan Militer Jepang di Indonesia di Dalam Bidang Politik)
Pada 1 Maret 1945, pemerintahan Jepang di Jawa dipimpin Saiko Syikikan Kumakici Harada, membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dalam bahasa Jepangnya disebut Dokuritsu Junbi Cosakai. Yang diangkat sebagai ketua BPUPKI ialah Dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat. Ia dibantu oleh 2 ketua muda yaitu seorang Jepang (Syucokan Cirebon) dan R.P. Suroso. Ia diangkat pula sebagai kepala sekretariat BPUPKI, dibantu oleh Toyohiko Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigo. Anggotanya 60 orang ditambah 7 orang Jepang tanpa hak suara. Dalam kesempatan itu Ir. Soekarno tidak menjadi ketua, sebab ia ingin lebih aktif dalam banyak sekali diskusi. Pelantikan anggota-anggota BPUPKI dilakukan pada tanggal 2 Mei 1945, bertepatan dengan hari ulang tahun raja Jepang (Tenno Heika).
Pelantikan itu dihadiri oleh dua pembesar Jepang, yaitu Jenderal Itagaki dan Jenderal Yiciro Najano. Pada pelantikan itu, bendera Merah Putih dikibarkan di samping bendera Hinomaru. Tugas pokok BPUPKI yaitu melaksanakan penyelidikan terhadap usaha-usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, BPUPKI, telah membentuk beberapa panitia kerja, yakni:
- Panitia perumus terdiri atas 9 orang diketuai Ir. Soekarno. Tugasnya merumuskan naskah Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar.
- Panitia Perancang Undang-Undang Dasar diketuai Ir. Soekarno. Dari sini dibuat lagi panitia kecil, yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Supomo.
- Panitia ekonomi dan keuangan, diketuai oleh Drs. Moh. Hatta.
- Panitia Pembela Tanah Air, diketuai oleh Abikusno Cokrosuyoso.
1) Masa Sidang Pertama (29 Mei 1945 – 1 Juni 1945)
Setelah panitia terbentuk, BPUPKI segera mengadakan bersidang yang akan dilaksanakan dalam dua tahap.Dalam persidangan ini dibicarakan problem dasar negara. Beberapa orang tokoh yang berpidato untuk mengusulkan konsepsi yaitu: Mr. Muh. Yamin, Ir. Soekarno dan Prof. Mr. Supomo.
Pada 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin berpidato dengan judul: asas dan dasar Negara kebangsaan Republik Indonesia. Dalam pidatonya ia mengusulkan lima pokok yang akan dijadikan dasar negara, yaitu:
- Peri Kebangsaan;
- Peri Kemanusiaan;
- Peri Ketuhanan;
- Peri Kerakyatan;
- Kesejahteraan Rakyat.
Pada 31 Mei 1945 Prof. Dr. Mr. Supomo berpidato wacana masalah-masalah yang berafiliasi dengan dasar negara yang berisikan lima asas, yaitu:
- Paham negara persatuan;
- Perhubungan negara dan agama;
- Sistem tubuh permusyawaratan;
- Sosialisme negara;
- Hubungan antar bangsa.
Tetapi ia tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa kelima hal tersebut diusulkan sebagai dasar negara. Keterangan itu diajukan untuk dijadikan materi masukan dalam merumuskan dasar negara Indonesia merdeka nanti. Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno tampil berbicara wacana dasar falsafah negara Indonesia merdeka yang juga terdiri atas lima asas, yaitu:
- Kebangsaan Indonesia;
- Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan;
- Mufakat atau Demokrasi;
- Kesejahteraan Sosial;
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelima asas itu, “atas petunjuk spesialis bahasa”, oleh Ir. Soekarno diberi nama Pancasila, lalu disusulkan dijadikan dasar Negara Indonesia. Dalam masa siding tersebut belum didapat kata setuju mengenai Dasar Negara Indonesia. Setelah pembicaraan selesai, sidang berikutnya ditunda hingga bulan Juli. Sambil menunggu masa siding berikutnya maka 9 orang BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang beranggotakan ke-9 orang: Ir. Soekarno (Ketua), Drs. Moh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Cokrosutoso, Abdulkahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Soebarjo, K.H.A Wachid Hasyim, dan Mr. Moh. Yamin. Panitia Kecil (Panitia Sembilan) tersebut terus bekerja keras merumuskan rancangan Pembukaan Undang-
Undang Dasar yang nanti harus mengandung “asas dan tujuan negara Indonesia merdeka.” Akhirnya kiprah itu terselesaikan pada 22 Juni 1945 dan hasil rumusannya disebut Piagam Jakarta atau Jakarta Charter, sesuai dengan nama yang diberikan oleh Mr. Muh. Yamin.
Di dalam Piagam Jakarta alinea ke-4 dirumuskan lima asas falsafah negara Indonesia merdeka yaitu:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
- Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan, terutama mengenai rumusan Pancasila, lalu dijadikan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
2) Masa Sidang Kedua (10 Juli – 17 Juli 1945)
Dalam sidang kedua ini, yang dibahas yaitu Rancangan Undang-Undang Dasar beserta pembukaannnya. Panitia perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai Ir. Soekarno, menyetujui bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar diambilkan dari Piagam Jakarta. Untuk merumuskan Undang-Undang Dasar panitia perancang membentuk lagi panitia kecil, yang diketuai oleh Prof. Dr. Hoesein. Pada 14 Juli 1945 Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia perancang Undang-Undang Dasar kepada sidang, yaitu:
(a) Pernyataan Indonesia Merdeka;
(b) Pembukaan Undang-Undang Dasar;
(c) Undang-Undang Dasar (Batang Tubuh).
Akhirnya, sidang BPUPKI mendapatkan lingkaran hasil kerja panitia itu. Setelah BPUPKI berhasil menuntaskan tugasnya maka pada 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan.
Anda kini sudah mengetahui BPUPKI. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.