Artikel dan Makalah wacana Perkembangan Tradisi Agama Di Indonesia Sebagai Perwujudan Interaksi Antara Agama Lokal, Hindu Budha Dengan Islam - Bila melihat sejarah, diperkirakan agama Budha lah agama yang pertama masuk ke Indonesia, khususnya Sumatera (Sriwijaya pada periode ke-7), sebelum jadinya ke Jawa Tengah (Mataram Kuno dengan adanya Dinasti Syailendra periode ke-9). Setelah itu barulah agama Hindu masuk ke Indonesia, khususnya Kalimantan dan Jawa bab barat, tengah, dan kemudian timur. Persinggungan dua agama produk Jazirah India dengan kepercayaan lokal melahirkan praktik keagamaan yang tipikal. Konsep pemujaan terhadap arwah leluhur berpadu dengan konsep pengagungan terhadap dewa-dewi India. (Baca juga : Proses dan Hasil Akulturasi Budaya antara Tradisi Lokal, Hindu Budha, dan Islam di Indonesia)
Kepercayaan animisme dan dinamisme yang bercampur dengan praktik paganisme membentuk tradisi yang sinkretis, unsur-unsur orisinil sudah bersenyawa dalam bentuk yang ”baru”. Bangunan zaman Megalitikum yang sederhana dan kaku dipersatukan dengan candi-candi Hindu Budha yang arsitekturnya lebih maju dan modern. Jenazah seseorang yang berkuasa (kepala suku atau ketua adat) yang sebelumnya disimpan di peti batu, sarkofagus, menhir, dan bangunan megalitik lainnya (tidak dikubur dalam tanah) diganti oleh pembakaran mayat yang abunya diletakkan di ruangan candi. Lalu bubuk mayat tersebut ditaburkan di sungai atau maritim biar jasad besarnya ”menyatu” lagi dengan alam dan jiwanya tenang di alam swarga.
Proses interaksi masyarakat Indonesia dengan budaya gila berlanjut terus-menerus sampai datanglah efek Islam yang dimulai dari Pasai sampai Ternate-Tidore, dari Malaka sampai Maluku. Ketika Islam datang, masyarakat Indonesia telah berada dalam efek Hindu Budha yang masing-masing penganutnya hidup berdampingan. Kedatangan kaum muslim yang relatif tenang tersebut diterima oleh sebagian masyarakat pribumi Indonesia, terutama kaum darah biru dan pedagang.
Melalui pendekatan budaya, pengenalan Islam sebagai agama pendatang kepada masyarakat Indonesia penganut Hindu Budha, berproses cukup damai. Peranan para ulama dalam penyebaran agama Islam disambut oleh masyarakat alasannya yakni dakwah yang dilakukan menggunakan pendekatan yang menyesuaikan dengan sopan santun lokal, tanpa menghilangkan tradisi sebelumnya yang lebih tua.
Pendekatan kultural ini sanggup dilihat pada, misalnya, menara Masjid Kudus yang menyerupai dengan atap candi Hindu Budha atau gapura di komplek makam raja-raja Mataram-Islam di Imogiri yang berbentuk menyerupai gapura zaman Majapahit. Dalam hal seni, ada Sunan Kalijaga yang konon sering mempertunjukkan tontonan wayang dalam menarik perhatian umat nonmuslim di Jawa dengan menyisipi ajaran-ajaran Islam yang ringan. Meskipun, kisah yang digelarnya diambil dari kakawin Mahabharata dan Ramayana atau cerita-cerita rakyat-tutur (legenda dan mitos), namun sehabis pagelaran wayang usai Sunan Kalijaga tidak meminta upah melainkan meminta para penonton mengucapkan dua kalimat syahadat (Aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad yakni utusan [rasul] Allah).
Catatan Sejarah :
Selain dikenal sebagai ulama dan budayawan, Sunan Kalijaga juga populer sebagai jago ukir dan jago busana. Maka dari itu, dalam hal berpakaian Kalijaga tetap menggunakan busana darah biru ala Jawa, tidak menyerupai para wali yang lain yang berbusana ala Timur-Tengah. Dengan demikian, penampilan Sunan Kalijaga dikenal cukup fashionable.
Cerita pewayangan yang telah dikenal semenjak zaman Mataram Kuno yang semula berwujud boneka (golek) yang tiga dimensi oleh Sang Sunan dibuat menjadi pipih (dua dimensi) yang terbuat dari kulit binatang. Contoh lain dari islamisasi dalam koridor kebudayaan ini yakni busana yang digunakan Raden Patah sewaktu menjadi penguasa Demak bukanlah pakaian sopan santun Timur Tengah, melainkan menggunakan kuluk, jamang, dan sumping laiknya darah biru Jawa yang Hindu Budha. Selain hanya cukup mengucapkan syahadat, Islam tidak mengenal struktur sosial kasta menyerupai dalam Hindu.
Di samping faktor internal yang bersifat sosiokultural, faktor luar pun cukup memperlihatkan pengaruhnya terhadap perkembangan Islam. Faktor luar tersebut di antaranya yakni tingkat intelektualitas kaum muslim yang dalam beberapa hal lebih tinggi dari masyarakat pribumi. Misalnya tradisi menulis: sebelumnya hanya para brahmana dan pujangga saja yang bisa membaca dan menulis huruf (Sansekerta, Kawi, Melayu Kuno, dan abjad tradisional lainnya); dan sehabis Islam masuk tradisi menulis lebih berkembang alasannya yakni hampir semua kalangan di umat muslim melek huruf setidaknya hanya bisa membaca sekalipun.
Perpaduan antara unsur budaya asli, Hindu Budha dan Islam membentuk corak tersendiri di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh para wali dan sunan, corak kebudayaan yang usang tidak dihilangkan dengan alasan biar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, aliran Islam sanggup diterima dengan gampang dan tanpa ketakutan. Kaum ulama menyadari bahwa masyarakat Indonesia bersifat plural, masyarakat yang beranekaragam dalam hal bahasa, budaya, dan suku-bangsa. Unsur-unsur tradisi masih menempel sanggup dirasakan sampai sekarang, di antaranya program tahlilan, halal bi halal, berziarah, sekatenan, dan tembangan khususnya di Jawa.
1. Tahlilan
Umat Islam di Indonesia mempunyai kekhasan sendiri yang tidak ditemui pada masyarakat Islam di Timur Tengah, salah satunya yakni tahlilan. Tahlilan yakni program doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan intinya pengucapan ”La ilahaillallah”, yang berarti ”Tiada Tuhan selain Allah”. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari sehabis salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin sampai dari ayat pertama sampai terakhir, doa-doa biar sang almarhum/almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya. Pembacaan ayat dan doa tersebut biasanya dipimpin oleh seorang ulama.
Setelah pembacaan doa selesai, biasanya tuan rumah yang berduka menyediakan penganan/makanan tradisional, air minum, serta berbungkus-bungkus rokok untuk disajikan kepada penerima tahlilan. Setelah berbincangbincang sekadarnya, para penerima tahlilan pulang.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Lalu sehabis itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan sampai 1.000 hari janjkematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu Budha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian.
Terlihat bahwa program tahlilan tak sepenuhnya aliran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan program tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan biar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.
2. Halal Bihalal
Salah satu lagi kekhasan sinkretisme dalam masyarakat Indonesia yakni tradisi halah bi halal. Halal bi halal secara harfiah berarti ”yang halal dengan yang halal”, ”yang boleh dengan yang boleh”, ”saling melepaskan ikatan”, atau ”saling mencairkan kekerabatan yang membeku sebelumnya”. Dengan kalimat lain, ia sanggup berarti
program saling maaf-memaafkan antarsesama umat Islam.
Di Indonesia tradisi ini biasanya dilaksanakan sehabis bulan rahmat (shaum) pada bulan Ramadhan berakhir, yakni perayaan Idul Fitri (Lebaran) pada tahun Hijriyah. Bila di Arab dan negaranegara Timur Tengah, budaya saling maaf-memaafkan antarumat Islam dilakukan ketika menjelang puasa bulan Ramadhan, di Indonesia tradisi maaf-memaafkan cenderung dilakukan sehabis Ramadhan berakhir, yakni pada perayaan Idul Fitri (Lebaran). Perayaan saling memaafkan ini biasanya ”diformalkan” menjadi program saling mengunjungi (atau dikunjungi) antara saudara, kerabat, atau sahabat untuk saling meminta memaafkan. Tradisi ini disebut pula silaturahmi (silaturrahim), yang bertujuan umtuk memperpanjang dan menjaga kekerabatan antar sesama.
Bila ditelusuri, kebiasaan berhalal bi halal ini dilaksanakan semenjak zaman kesultanan (kekhalifahan) non-Arab yang mempunyai budaya sendiri sebelum Islam datang. Jadilah, efek budaya lokal (non-Arab) tersebut saling berdialektika dengan tradisi orisinil Islam.
3. Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung kepada makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah biar kepercayaan Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah (pilgrim) Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu Budha, dan hasilnya yakni sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi mempunyai tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenek moyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk memperlihatkan pertolongan kepada orang yang masih hidup, menyerupai memperlihatkan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nandran atau nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melaksanakan program srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu Budha. Di ketika masuknya agama Islam, upacara menyerupai ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa kini yakni nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang dimaksud.
Catatan Sejarah :
Tradisi tahlilan dan nyekar atau nyadran oleh sebagain ulama dipandang bid’ah, artinya menyimpang dari syariat Islam sesunggunya. Adapula yang menilainya sebagai makruh, yaitu tak dihentikan namun lebih baik jangan dilaksanakan. Namun, oleh kalangan Islam liberal yang memegang paham pluralisme, tradisi-tradisi tadi sah-sah saja selama tak menyekutukan Tuhan. Menurut mereka, tradisi tersebut merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri dan dihapus bahwa semenjak dahulu dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat keanekaragaman (diversity), dan Islam bukanlah agama yang kaku dan tak fleksibel, melainkan sebaliknya: luwes dan rahmat bagi semesta alam.
4. Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad SAW. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bab dari program grebeg Maulud. Sunan Bonang, menyerupai Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan aliran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak dibutuhkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, sampai rakyat kecil. Mereka tumpahruah di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan lauk-pauk berikut sayur mayurnya untuk disantap.
5. Kebatinan dan Kejawen
Kebatinan merupakan bentuk kerohanian yang menggabungkan kepercayaan agama kuno orang Jawa dengan tradisi gaib Hindu, Budha, dan sufi-Islam (dan juga Kristen). Meski di luar Jawa terdapat pula pengikut kebatinan, namun sebagian besar pengikut aliran ini memang orang Jawa. Ajaran kebatinan dan kejawen ini bukan hanya meliputi pengetahuan mistik, namun juga alam gaib yang dijalankan oleh kaum darah biru maupun rakyat biasa.
Dunia kebatinan ini sering disebut pula dunia asketisme dan dijalaninya dengan cara yang bermacam-macam, menyerupai bertapa, berpuasa, mengatur pernafasan. Para pengikut kebatinan maupun kejawen tidak melaksanakan perintah syariat Islam secara lengkap. Mereka tidak sembahyang lima waktu, percaya terhadap kekuatan benda-benda sakti dan roh leluhur. Selain roh nenek-moyang, mereka pun memuja arwah-arwah tokoh sejarah dan legendaris, contohnya tokoh Wali Sanga, Panembahan Senopati, dewa-dewi Hindu menyerupai Dewi Sri atau Batara Kala. Dalam program ruwatan, misalnya, seseorang dibutuhkan terhindarkan dari segala marabahaya dan kesialan dengan menanggap pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
6. Tembangan
Selain Sunan Bonang, dakwah dengan menggunakan media seni dilakukan oleh Sunan Giri. Ia membuat lagu-lagu bernuansa Islam namun dengan langgam (nada-irama) Jawa. menyerupai ”Ilirilir” dan ”Jamuran”. Sunan Drajat pun membuat tembang berbahasa Jawa, yakni ”Pangkur”. Tak ketinggalan, Sunan Muria ikut membuat tembang menyerupai ”Sinom” dan ”Kinanti”. Tembang ”Sinom” umumnya menggambarkan suasana ramah tamah dan berisi nasehat, sedangkan ”Kinanti” yang bernada bangga digunakan guna memberikan aliran agama, nasihat, dan filsafat hidup. Sementara itu, Sunan Kalijaga berhasil membuat ”Dandanggula”, tembang yang berisi rukun iman.
Berikut ini petikan dari ”Dandanggula” dalam bahasa Jawa.
”...wa man tu bi’ilahi tegesi pun pracaya ing Allah
ing Pangeran sejatine, ya Pangeran kang agung
kang akarna bumi lan langit angganjar lawan niksa
mring manusa sagung langgeng tur murba misesa
maha suci angganjar paring rezeki, aniksa angapura”
Yang artinya adalah:
Sifat kepercayaan itu percaya kepada Allah
Tuhan yang sejati dan Yang Maha Besar
Yang membuat bumi dan langit, memberi dan menyiksa
Kepada seluruh manusia, kekal dan berbuat sekehendaknya
Yang memberi rezeki, yang memberi siksa dan mengampuni
7. Tradisi-Tradisi Lainnya
Selain tahlilan, halal bi halal, ziarah, sekatenan-gerebeg, dan tembangan Jawa, masih banyak tradisi lainnya yang dalam praktiknya terbentuk dari adonan tradisi lokal, Hindu Budha, dengan Islam. Tradisi tersebut mencakupi program selamatan kelahiran bayi (aqiqah), hari ashura, sunat atau khitan, pernikahan, dan lain-lainnya. Tradisi-tradisi ini hampir terdapat di semua tempat Indonesia yang terpengaruh agama-budaya Islam.
Bagi masyarakat Bugis, tanggal 10 Muharam dirayakan sebagai hari ashura, yakni tradisi kaum Syiah dalam memperingati janjkematian cucu Nabi Muhammad, yakni Husein bin Abi Thalib yang dihabisi musuhnya secara kejam. Pada perayaan ashura disajikan hidangan ”bubur tujuh macam” yang berisi lauk-pauk berbeda.
Khusus bagi masyarakat Sasak di Lombok, di tempat ini sebagian masyarakatnya melaksanakan praktik Islam yang berbeda dengan ajarah syariah Islam. Ajaran Islam-sinkretis yang dilakukan oleh masyarakat bab utara dan selatan Pulau Lombok ini disebut wetu telu atau tiga waktu. Ajaran wetu telu ini hampir sama dengan aliran Hindu-Bali dan kejawen-Jawa. Mereka percaya akan roh leluhur atau kerabat yang mati akan tetap hidup di dunia lain. Arwah leluhur itu dipercaya sanggup menolong orang yang masih hidup. Ada dua orang yang sanggup memanggil arwah leluhur, yakni pemangku dan kyai. Bagi penganut wetu telu, alam sekitar menyerupai mata air dan bukit, mempunyai jiwa. Dalam menjalankan aliran Islam, para kyai tidak memimpin shalat lima kali sehari. Pada hari Jumat, khotbah tidak dilakukan. Di dalam mesjid wetu telu, terdapat patung kayu berbentuk naga yang disebut bayan, yang dianggap nenek moyang mereka.
Anda kini sudah mengetahui Perkembangan Tradisi Agama Di Indonesia Sebagai Perwujudan Interaksi Antara Agama Lokal, Hindu Budha Dengan Islam. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.