Artikel dan Makalah perihal Pengaruh Revolusi Industri Terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi, dan Demografi di Indonesia pada Masa Penjajahan / Kolonial - Revolusi Industri merupakan salah satu revolusi yang sangat penting dalam merubah tatanan politik ekonomi dunia. Revolusi ini telah bisa mengubah wajah dunia menjadi lebih modern. Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari dampak tersebut. Namun, sebelum menginjak pada pembahasan pokok, ada baiknya kita menengok sebentar kejadian apa saja yang terjadi di Inggris sebelum dan sesudah Revolusi Industri. Pada penggalan ini kalian akan mempelajari dampak Revolusi Industri terhadap perkembangan Indonesia. Kalian akan melihat perkembangan ekonomi dan demografi (kependudukan) serta industrialisasi di Indonesia pada masa kolonial. Juga kalian akan melihat kekerabatan transportasi semenjak kurun ke-19 dengan proses integrasi ekonomi di Indonesia, serta ekspansi acara ekonomi swasta asing.
3. Akibat Dan Dampak Revolusi Industri Terhadap Indonesia di Bidang Politik, Sosial, Ekonomi, Iptek, Budaya, dan Demografi Pada Masa Kolonial
Revolusi Industri di Inggris dilatarbelakangi oleh banyak faktor, antara lain oleh faktor politik, sosial, ekonomi dan budaya. Revolusi Industri ditandai dengan penemuan-penemuan alat gres untuk membantu insan dalam pekerjaan. James Watt merupakan orang pertama yang berhasil menemukan mesin uap.
Sejak inovasi inilah kemudian para andal dalam bidang lain menemukan penemuan-penemuan terbaru. Revolusi Industri telah berpengaruh, baik untuk Inggris maupun untuk dunia internasional secara keseluruhan. Dalam bidang politik, Revolusi Industri telah mendorong lahirnya imperialisme modern yang dipelopori oleh Inggris. Dalam bidang ekonomi, Revolusi Industri telah mendorong masyarakat Inggris lebih sejahtera dan berkecukupan. Dalam bidang sosial, Revolusi Industri telah kuat terhadap kondisi masyarakat kota dengan adanya urbanisasi. Urbanisasi inilah yang nantinya juga kuat terhadap kemunculan kerawanan sosial berbentuk kejahatan yang meningkat, ketimpangan sosial, dan lahirnya masyarakat baru.
Industrialisasi di Indonesia tumbuh pertama kali di pulau Jawa. Pada awal kurun ke-17 Jawa merupakan sentra perdagangan penting di Asia Tenggara. Para pedagang Jawa memasok pangan penting untuk Malaka dan bandar-bandar menyerupai Surabaya, Gresik, dan Banten merupakan gudang penting untuk barang-barang menyerupai cengkeh, lada, dan cita India.
Perdagangan ini tidak surut meskipun dikendalikan secara drastis oleh VOC. Pada kurun ke-17 dua bandar yaitu Banten dan Batavia berkembang sebagai gudang utama di Jawa. Keduanya bersaing gigih untuk secara penuh menguasai perdagangan antarpulau, meskipun persaingan itu dimenangkan Batavia sesudah serangan militer Belanda ke Banten 1682.
Pada awal kurun ke-17, Jawa mempunyai industri galangan kapal yang luar biasa, bahkan jong besar pun dibentuk di sini. Industri pembuatan kapal tetap penting meski jadinya sebagian diatur oleh Belanda. Untuk industri ini, demikian juga bangunan rumah, diharapkan kayu jati dalam jumlah besar. Demak, Jepara, dan terutama Rembang menjadi industri penggergajian yang besar, yang melibatkan orang Kalang sebagai pekerja.
Pada kurun ke-17 dan ke-18 aneka macam flora gres untuk ekspor diperkenalkan di Jawa dengan berhasil. Tanaman utama ialah kopi, tembakau, nila, dan tebu. Dengan pergeseran dari flora rempah ke flora gres ini, titik perekonomian ekspor kawasan lebih meningkat di pulau Jawa. Sekitar tahun 1650 sentra penghasil gula tradisional menyerupai Cina Selatan dan Taiwan dilanda perang sipil. Cina-Jawa mengisi celah yang timbul sebagai hasil pembangunan pabrik gula di kawasan sekitar Batavia dan Jepara. Pada awal kurun ke-18 Jawa mempunyai lebih kurang 140 pabrik, menjadikannya penghasil gula tebu terbesar di Asia, yang dijual ke Jepang, Persia, India, dan Belanda.
Sekitar tahun 1800-an, kedudukan padi sebagai barang ekspor digantikan kopi yang bernilai, dan secara cepat diganti dengan adonan flora kopi, nila, dan gula. Tanaman perdu yang menghasilkan kopi diperkenalkan Belanda pada final kurun ke-17. Pertengahan tahun 1700-an, flora ini disebar ke Jawa, Sumatera, termasuk pulau lainnya. Sebetulnya flora ini pertama kali ditanam oleh VOC dan mediator mereka dengan pandangan untuk memperoleh laba bagi perdagangan ke Eropa.
Pertengahan kurun ke-19 kopi ditanam besar-besaran sebagai flora menguntungkan bagi pemerintah di bawah tunjangan “tanam paksa”. Sistem ini yang dibentuk tahun 1830-an, memungkinkan pemerintahan jajahan Belanda kurun ke-19 menerima cadangan hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa.
Pada kurun ke-18, nila ditanam untuk pemakaian kawasan setempat di Indonesia. Bahan ini dipakai masyarakat setempat untuk mewarnai materi dan batik. Tetapi, pada tahun 1870-an terjadi suatu jeda yang berlangsung lebih dari seratus tahun lamanya. Namun, sesudah itu terdapat perjuangan menyebarkan nila menjadi barang dagangan berukuran besar, yang diusahakan untuk memperluas pasarannya di pasar dunia. Seragam biru renta pelaut Inggris kurun ke-19, misalnya, warna biru khasnya diperoleh dari celupan nila.
Sejak tebu diperkenalkan, gula tebu merupakan industri yang tumbuh menyambut kebutuhan pasar luar negeri (rakyat Indonesia sendiri gres mulai menggunakan gula putih atau gula tebu menjelang pertengahan kurun ke-20 dan jadinya Indonesia menjadi pasar utama barang ini). Pada kurun ke-17 dan ke-18, pemasaran gula tebu ditujukan ke negara Asia, pada kurun ke-19 pasar beralih ke Eropa dan Amerika Utara (tetapi awal kurun ke-20, industri mencapai kembali pasar Asia).
Secara budaya, kurun ke-19 merupakan jembatan ke dunia modern. Pada penggalan final kurun tersebut Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Pada final kurun tersebut telah ada forum budaya penting yang akan membawa Indonesia ke modernisasi.
Revolusi Industri di Inggris dilatarbelakangi oleh banyak faktor, antara lain oleh faktor politik, sosial, ekonomi dan budaya. Revolusi Industri ditandai dengan penemuan-penemuan alat gres untuk membantu insan dalam pekerjaan. James Watt merupakan orang pertama yang berhasil menemukan mesin uap.
Sejak inovasi inilah kemudian para andal dalam bidang lain menemukan penemuan-penemuan terbaru. Revolusi Industri telah berpengaruh, baik untuk Inggris maupun untuk dunia internasional secara keseluruhan. Dalam bidang politik, Revolusi Industri telah mendorong lahirnya imperialisme modern yang dipelopori oleh Inggris. Dalam bidang ekonomi, Revolusi Industri telah mendorong masyarakat Inggris lebih sejahtera dan berkecukupan. Dalam bidang sosial, Revolusi Industri telah kuat terhadap kondisi masyarakat kota dengan adanya urbanisasi. Urbanisasi inilah yang nantinya juga kuat terhadap kemunculan kerawanan sosial berbentuk kejahatan yang meningkat, ketimpangan sosial, dan lahirnya masyarakat baru.
Industrialisasi di Indonesia tumbuh pertama kali di pulau Jawa. Pada awal kurun ke-17 Jawa merupakan sentra perdagangan penting di Asia Tenggara. Para pedagang Jawa memasok pangan penting untuk Malaka dan bandar-bandar menyerupai Surabaya, Gresik, dan Banten merupakan gudang penting untuk barang-barang menyerupai cengkeh, lada, dan cita India.
Perdagangan ini tidak surut meskipun dikendalikan secara drastis oleh VOC. Pada kurun ke-17 dua bandar yaitu Banten dan Batavia berkembang sebagai gudang utama di Jawa. Keduanya bersaing gigih untuk secara penuh menguasai perdagangan antarpulau, meskipun persaingan itu dimenangkan Batavia sesudah serangan militer Belanda ke Banten 1682.
Pada awal kurun ke-17, Jawa mempunyai industri galangan kapal yang luar biasa, bahkan jong besar pun dibentuk di sini. Industri pembuatan kapal tetap penting meski jadinya sebagian diatur oleh Belanda. Untuk industri ini, demikian juga bangunan rumah, diharapkan kayu jati dalam jumlah besar. Demak, Jepara, dan terutama Rembang menjadi industri penggergajian yang besar, yang melibatkan orang Kalang sebagai pekerja.
Pada kurun ke-17 dan ke-18 aneka macam flora gres untuk ekspor diperkenalkan di Jawa dengan berhasil. Tanaman utama ialah kopi, tembakau, nila, dan tebu. Dengan pergeseran dari flora rempah ke flora gres ini, titik perekonomian ekspor kawasan lebih meningkat di pulau Jawa. Sekitar tahun 1650 sentra penghasil gula tradisional menyerupai Cina Selatan dan Taiwan dilanda perang sipil. Cina-Jawa mengisi celah yang timbul sebagai hasil pembangunan pabrik gula di kawasan sekitar Batavia dan Jepara. Pada awal kurun ke-18 Jawa mempunyai lebih kurang 140 pabrik, menjadikannya penghasil gula tebu terbesar di Asia, yang dijual ke Jepang, Persia, India, dan Belanda.
Sekitar tahun 1800-an, kedudukan padi sebagai barang ekspor digantikan kopi yang bernilai, dan secara cepat diganti dengan adonan flora kopi, nila, dan gula. Tanaman perdu yang menghasilkan kopi diperkenalkan Belanda pada final kurun ke-17. Pertengahan tahun 1700-an, flora ini disebar ke Jawa, Sumatera, termasuk pulau lainnya. Sebetulnya flora ini pertama kali ditanam oleh VOC dan mediator mereka dengan pandangan untuk memperoleh laba bagi perdagangan ke Eropa.
Pertengahan kurun ke-19 kopi ditanam besar-besaran sebagai flora menguntungkan bagi pemerintah di bawah tunjangan “tanam paksa”. Sistem ini yang dibentuk tahun 1830-an, memungkinkan pemerintahan jajahan Belanda kurun ke-19 menerima cadangan hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa.
Pada kurun ke-18, nila ditanam untuk pemakaian kawasan setempat di Indonesia. Bahan ini dipakai masyarakat setempat untuk mewarnai materi dan batik. Tetapi, pada tahun 1870-an terjadi suatu jeda yang berlangsung lebih dari seratus tahun lamanya. Namun, sesudah itu terdapat perjuangan menyebarkan nila menjadi barang dagangan berukuran besar, yang diusahakan untuk memperluas pasarannya di pasar dunia. Seragam biru renta pelaut Inggris kurun ke-19, misalnya, warna biru khasnya diperoleh dari celupan nila.
Sejak tebu diperkenalkan, gula tebu merupakan industri yang tumbuh menyambut kebutuhan pasar luar negeri (rakyat Indonesia sendiri gres mulai menggunakan gula putih atau gula tebu menjelang pertengahan kurun ke-20 dan jadinya Indonesia menjadi pasar utama barang ini). Pada kurun ke-17 dan ke-18, pemasaran gula tebu ditujukan ke negara Asia, pada kurun ke-19 pasar beralih ke Eropa dan Amerika Utara (tetapi awal kurun ke-20, industri mencapai kembali pasar Asia).
Secara budaya, kurun ke-19 merupakan jembatan ke dunia modern. Pada penggalan final kurun tersebut Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Pada final kurun tersebut telah ada forum budaya penting yang akan membawa Indonesia ke modernisasi.
Anda kini sudah mengetahui Revolusi Industri. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.