Rahasia Molekul Pembentuk Alam Semesta Terungkap - Sebuah penelitian terbaru mengenai salah satu molekul yang paling fundamental di alam semesta telah memperlihatkan petunjuk kepada ilmuwan ihwal bagaimana bintang paling awal terbentuk. Untuk pertama kalinya, para peneliti telah menghitung contoh getaran dari senyawa yang disebut H3+ (juga dikenal sebagai ion hidrogen triatomic) yang terdiri dari tiga atom hidrogen membuatkan dua elektron. Dengan mengetahui bagaimana molekul tersebut sanggup bergetar memungkinkan para ilmuwan untuk memprediksi panjang gelombang cahaya mana yang akan memancar. Hal tersebut memperlihatkan ilmuwan, cara untuk mengidentifikasi tanda-tandanya dalam pengamatan astronomi.
H3+ sangat penting alasannya diduga telah terbentuk secara umum di alam semesta sempurna sehabis Big Bang yang terjadi sekitar 13,7 miliar tahun lalu.
“Sebagian besar alam semesta tersusun atas hidrogen dalam aneka macam bentuk,” kata Ludwik Adamowicz seorang kimiawan dari University of Arizona, ”tetapi H3+ ion ialah ion molekul paling umum di ruang antar bintang. H3+ juga merupakan salah satu molekul yang paling penting keberadaannya.”
Bintang gres yang meledak pada ketika proses terbentuknya bintang nebula Messier 78, dicitrakan oleh NASA’s Spitzer Space Telescope (Credit: Nasa/JPL-Caltech) |
Getaran dari H3+ dan kualitas pancaran sinarnya, telah memungkinkan mentransfer panas keluar dari bintang pada ketika proses pembentukan, sehingga memungkinkan bintang tersebut untuk menyatu tanpa panas yang berlebihan dan tidak meledak.
”Tidak akan ada pembentukan bintang jikalau tidak ada molekul yang mendinginkan secara perlahan bintang yang terbentuk dengan memancarkan cahaya,” kata Michele Pavanello, seorang mahasiswa pascasarjana University of Arizona yang pernah bekerja pada proyek ini. “Para astronom berpikir bahwa satu-satunya molekul yang sanggup mendinginkan bintang yang sedang terbentuk dalam waktu tertentu ialah H3+.”
Adamowicz dan Pavanello memakai simulasi komputer untuk memodelkan sikap H3+, menurut mekanika kuantum.
“Kita harus melibatkan sejumlah besar perhitungan di tingkat kuantum mekanik untuk memprediksi getaran tersbut,” kata Adamowicz. ”Peran dari teori dasarnya ialah untuk mensimulasikan getaran di komputer dan kemudian menjelaskan bagaimana molekul tersebut berayun atau menari.”
Simulasi mereka memprediksi jumlah getaran potensial yang akan menjadikan H3+ untuk memancarkan foton pada panjang gelombang tertentu atau energi tertentu. Jika pengamatan dengan memakai teleskop pada awan tertentu di ruang angkasa mengungkapkan cahaya dari panjang gelombang tersebut, maka para astronom akan tahu awan yang mengandung H3+.
Perhitungan jtersebut juga sanggup membantu para ilmuwan memahami ilmu fisika yang rumit mengenai bagaimana bintang terbentuk, terutama bintang-bintang yang paling awal di alam semesta.
“Satu-satunya cara kita sanggup memprediksi bagaimana bentuk bintang ialah jikalau kita tahu benar bagaimana kemampuan H3+ mendinginkan bintang yang sedang terbentuk. Kita tidak sanggup mengetahui kemampuan pendinginan tersebut hingga kita tahu spektrum getarannya,” kata Pavanello. ”Kami perlu tahu tingkat energinya, dengan penelitian ini, kami telah memilih tingkat energi hingga batas energi tertentu yang sudah cukup baik untuk menghasilkan prediksi yang akurat dari kemampuan pendinginan H3+.”
Referensi Jurnal :
Michele Pavanello, Ludwik Adamowicz, Alexander Alijah, Nikolai F. Zobov, Irina I. Mizus, Oleg L. Polyansky, Jonathan Tennyson, Tamas Szidarovszky, Attila G. Csaszar, Max Berg, Annemieke Petrignani, and Andreas Wolf. 2012. Physical Review Letters Vol.108 (2).
Artikel ini merupakan terjemahan dari bahan yang disediakan oleh Live Science. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.