Artikel dan Makalah wacana Peradaban Lembah Sungai Huang Ho, Letak Geografis, Mata Pencaharian, Sistem Pemerintahan, Dinasti, Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, Filsafat - Berikut ini yakni materi lengkapnya : (Baca juga : Peradaban Kuno Di Asia Dan Afrika)
1. Letak Geografis
Secara garis besar, letak geografis Cina dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
(a) Lembah Sungai Hwang Ho (Sungai Kuning)
Sungai Hwang Ho dianggap berkah bagi bangsa Cina, lahan-lahan di sekitar sungai menjadi subur sesudah terjadi banjir yang membawa lumpur-lumpur. Aliran Sungai Huang Ho dari hulu yang berada di Kwen Lun (Tibet) hingga muara Teluk Tsi-Li.
(b) Lembah Sungai Yang Tse
Lembah Sungai Yang Tse merupakan sentra pertanian sehingga banyak ditemui kota-kota di sekitarnya. Sungai Yang Tse mempunyai sumber di Pegunungan Kwen Lun (Tibet) dan bermuara di Laut Cina Timur.
(c) Cina Selatan
Di kawasan ini banyak ditemukan materi timah. Daerah ini sebagai bukti bahwa bangsa Cina di masa prasejarah sudah bisa menciptakan perkakas dari bahan-bahan logam.
Kedua sungai yang telah disebutkan merupakan cikal bakal tumbuhnya peradaban di Cina, namun walau demikian kebudayaan yang timbul ditemukan berada di Lembah Sungai Hwang Ho.
2. Mata Pencaharian
Kekayaan alam Cina yang begitu melimpah menjadikan kemajuan kebudayaan yang cepat dan beragam. Mengalirnya Sungai Hwang Ho dan Sungai Yang Tse merupakan sumber kehidupan bangsa Cina dengan cara bercocok tanam dan beternak. Tantangan cara hidup bertani mendorong bangsa Cina menciptakan perkakas pertanian dari materi logam, apalagi ditunjang dengan wilayah Cina Selatan yang kaya akan barang tambang, menyerupai besi timah, emas dan tembaga. Selain menjadi perkakas pertanian, logam pun diolah menjadi perabot rumah tangga menyerupai periuk, tombak, pisau dan lain-lain. Cepatnya kemajuan bangsa Cina di bidang teknologi pertanian mendorong terbentuknya kerajaan, dinasti yang pertama yakni dinasti Hsia.
3. Sistem Pemerintahan
a. Dinasti Shang (1523-1027 SM)
Dinasti Shang merupakan dinasti tertua di negeri Cina, namun tidak adanya bukti tertulis maka pada zaman itu bisa dikategorikan sebagai masa prasejarah. Setelah dinasti Hsia runtuh, muncul Dinasti Shang dengan ibukota Anyang (sebelah Utara Lembah Sungai Hwang Ho). Posisi wilayah kerajaan ini sangat aman, terutama ditunjang oleh kondisi geografi yang tidak mendukung adanya serbuan dari luar, sebelah Barat hingga Barat Daya dikelilingi oleh pegunungan, sebelah Utara yakni padang Gurun Gobi dan sebelah Timur dan Selatan yakni Laut Pasifik.
Pada zaman Dinasti Shang muncul kepercayaan menyembah banyak dewa, sebagai yang kuasa tertinggi yakni yang kuasa langit Shang Ti, tetapi bangsa Cina tidak meninggalkan kepercayaan kepada roh nenek moyang.
b. Dinasti Chou (1027 – 256 SM)
Dinasti Chou menggantikan Dinasti Shang sesudah terjadi kudeta dengan alasan raja dari Dinasti Shang dianggap salah mengurus negara dan telah meninggalkan mandat dari Dewa Langit. Sebagai ibukota dipilih Kota Hao. Kondisi sosial dalam masyarakat semasa Dinasti Shang sudah terbentuk, secara tidak disadari telah terbentuk dua golongan, yaitu golongan aristokrat dan golongan rakyat biasa. Adanya kondisi ini melahirkan sistem feodalisme yang diterapkan pada masa Dinasti Chou. Sistem pemerintahan pada Dinasti Chou dikuasai secara terpusat di bawah kekuasaan Kaisar, dan daerah-daerah yang dikuasai raja dipimpin oleh raja bawahan (Raja Vazal) sebagai pembantu. Sistem menyerupai ini, Raja Vazal selalu menekan kepada rakyatnya untuk membayar upeti dan memperkuat wilayahnya sendiri dengan membentuk pasukan militer yang menguasai daerah-daerah tetangga yang lemah dengan alasan memperkuat kekuatan sentra apabila dibutuhkan.
Adanya serangan bangsa barbar dari sebelah barat Cina ke ibukota Hao, menjadikan dipindahkannya ibukota ke Loyang di sebelah Timur. Akibat serangan ini memperlemah kekuatan Dinasti Chou ditambah lagi dengan lemahnya kekuatan sentra yang beralih ke kawasan maka tahun 770 SM terjadi pergantian kekuasaan oleh komplotan raja-raja Vazal. Karena lemahnya kerajaan, pada tahun 480 SM Cina terbagi menjadi tiga penguasa, yaitu Chi di Shantung, Chu di bab Utara Sungai Yang Tse dan Chin di Lembah Sungai Hwang Ho. Kondisi pemerintahan menyerupai ini melahirkan para tokoh filsafat, di antaranya Lao Tse, Kong Fu Tse, Meng Tse, dan lain-lain.
c. Dinasti Chin (221 – 206 SM)
Di antara tiga penguasa, Chin yakni penguasa yang berangasan dan mengalahkan kekuatan lainnya. Barulah tahun 221 SM, Pangeran Cheng sebagai penguasa Chin membeli wilayah untuk kekuasaanya dari Manchuria hingga Yang Tse. Keberhasilannya itu, Pangerang Cheng menamai dirinya Shih Huang Ti (Kaisar Pertama).
Kebijakan-kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh Shih Huang Ti selama berkuasa, yaitu:
- Penghapusan sistem feodalisme dan raja vazal.
- Sistem birokrasi terpusat, dengan seorang gubernur untuk mengatur provinsi.
- Menyusun goresan pena yang seragam.
- Memperluas wilayah Cina, bahkan hingga Korea.
- Memerintahkan pembangunan tembok Cina, untuk menahan serangan tentara Mongol dari Utara.
- Pengaturan dosis dalam perdagangan.
- Petani dan masyarakat golongan biasa dikenai wajib militer, pajak tinggi dan kerja paksa.
- Menghancurkan faham Kong Fu Tse dengan membunuh sarjana dan mengkremasi buku-buku ajarannya.
Shih Huang Ti wafat tahun 210 SM, terjadi kekacauan di provinsi yang diakibatkan oleh keserakahan para gubernur dan aristokrat yang ingin mengambil kekuasaan di Cina, dan timbulnya pemberontakan rakyat terhadap sistem yang diterapkan oleh Shih Huang Ti. Salah seorang petani berjulukan Liu Pang berhasil mengatasi kekacauan dan menduduki tahta kerajaan dengan mendirikan Dinasti Han.
d. Dinasti Han (206 SM – 221 M)
Kedekatan Liu Pang kepada rakyat dan pendidikan, aliran Kong Fu Tse dihidupkan kembali bahkan ajarannya digunakan sebagai seleksi calon pegawai negara dan kenaikan jabatan, sistem feodalisme dikekang, peniadaan pajak, dan pembangunan irigasi dan jalan yang baru.
Dinasti Han, tetap mempertahan tradisi dinasti-dinasti sebelumnya untuk memperluas wilayah Cina, bahkan pada ketika kekuasaan kaisar Wu Ti menghasilkan sebuah imperium yang luas hingga ke Korea, Turkestan, sebagian India dan IndoCina. Berkat imperium ini, terjadi kekerabatan perdagangan antara Cina dan India sehingga terjadi percampuran kebudayaan dan dimulainya masuk aliran agama Buddha. Jalur perdagangan Cina dengan Asia Tengah memakai Jalur Sutera, yaitu jalur perjalanan dari Cina ke Asia Tengah melalui India Utara. Adanya kerawanan keamanan selama perjalanan, jalur perdagangan diganti melalui bahari melalui Indonesia. Sepeninggal Wu Ti, Cina mengalami kemunduran akhir kebijakan yang tidak menguntungkan orang kaya dengan cara peniadaan budak, pembagian pemilikan tanah dan penetapan harga. Kehancuran Dinasti Han terjadi pada tahun 221 SM.
e. Dinasti T’ang (618 – 906 M)
Pada zaman Dinasti T’ang bangsa Cina mengalami kejayaan kembali yang sebelumnya telah hancur dan terpecah-pecah menjadi negara kecil. Kemajuan Dinasti T’ang ditunjang kedekatannya kepada para petani dan kaum aristokrat dengan diberlakukannya Undang-undang wacana pembagian tanah dan perpajakan. Wilayah Cina diperluas hingga ke Persia dan Laut Kaspia sehingga terjalin kekerabatan perdagangan dengan Asia Tengah. Dari perdagangan inilah masuknya agama Katolik dan Islam ke daratan Cina.
4. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan bangsa Cina diketahui dari tulisan-tulisannya yang berbentuk gambar (piktograf). Tulisan ini menawarkan lambang dari suatu kata atau kalimat, sehingga komunikasi antar kawasan bisa terwujud apalagi kawasan yang ditempati oleh kelompok-kelompok terpisah-pisah. Pada awalnya tulisan-tulisan ditulis di kayu, kulit, bambu, dan bahkan tulang binatang.
Kemajuan lain bangsa Cina sanggup dirasakan dengan banyaknya sisa-sisa peninggalannya dari materi logam yang kemudian diperdagangkan hingga ke luar negeri. Iklim di Cina mengenal empat musim, adanya keteraturan pergantian isu terkini dimanfaatkan dengan menciptakan penanggalan dan ilmu perbintangan sehingga sanggup digunakan untuk keperluan contoh tanam pertanian, perdagangan dan pelayaran. Penemuan swipoa yakni salah satu bentuk keahlian bangsa Cina di bidang matematika yang digunakan untuk mempercepat perhitungan ketika berdagang.
5. Ilmu Filsafat
Pada masa Dinasti Chou muncul beberapa tokoh filsafat, tiga diantaranya merupakan yang terbesar, yaitu Lao Tse, Kong Fu Tse dan Meng Tse.
a. Lao Tse
Lao Tse merupakan pelopor dasar-dasar Tao (Tao artinya jalan) dalam buku yang berjudul Tao Tse Ting. Oleh alasannya itu, aliran Lao Tse dikenal dengan nama Taoisme. Dalam Taoisme, insan diharuskan untuk pasrah terhadap hal-hal yang dialaminya dan selalu menjalankan kehidupannya dengan baik alasannya bahagia ataupun susah tidak ada bedanya, yang penting yakni cara menjalaninya yang harus diperbaiki. Taoisme mengajarkan wacana keseimbangan alam dengan yin dan yang. Yin yakni unsur-unsur negatif misalnya: malam, gelap, dingin, perempuan. Yang yakni unsur-unsur positif, contohnya siang, terang, panas, laki-laki.
b. Kong Fu Tse
Ajaran Kong Fu Tse mengacu pada aliran Taoisme yang mengharuskan adanya keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat. Kong Fu Tse memusatkan ajarannya pada kehidupan sehari-hari, dan keluarga yakni inti dari masyarakat. Keselarasan hidup dalam keluarga bisa dirasakan ketika orang renta mencintai anak, anak menghormati orang tua, pria sebagai kepala keluarga, wanita sebagai pengurus rumah tangga. Pemikiran ini diterapkan pada sistem pemerintahan dimana raja harus mencintai rakyatnya begitu pula rakyat harus taat kepada raja.
c. Meng Tse
Meng Fu Tse mengikuti aliran gurunya, Kong Fu Tse. Ia mengajarkan bahwa rakyat boleh mengingatkan raja dan memberontak apabila haknya diabaikan, begitu pula rakyat harus tunduk, taat dan melakukan kewajiban yang diperintahkan oleh raja. Timbal balik antara raja dan rakyat merupakan dasardasar kehidupan dalam negara demokrasi, sama menyerupai yang pernah dilontarkan pula oleh Plato.
Anda kini sudah mengetahui Peradaban Lembah Sungai Huang Ho. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Hendrayana. 2009. Sejarah 1 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Jilid 1 Kelas X. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 202.