Artikel dan Makalah wacana Upacara-Upacara Adat Istiadat di Indonesia : Pengertian, Tujuan, Fungsi, Contoh - Sebelum efek India masuk, masyarakat kuno Nusantara telah mengenal cara-cara upacara. Prosesi upacara ini dilaksanakan untuk menghormati roh nenek-moyang. Upacara ini sanggup dilaksanakan pada banyak sekali kesempatan. Ada yang dilaksanakan pada proses penguburan, untuk keperluan perkawinan, saat pengangkatan kepala suku, saat panen padi, saat sedekah laut, atau saat menjelang peperangan. Upacara ini pun sering dibarengi dengan pertunjukan wayang, terutama sehabis panen padi. Upacara-upacara yang berkembang di masyarakat biasanya didasari oleh adanya keyakinan agama, atau pun iman mereka. Upacara yang merupakan perjuangan insan untuk mencari hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. Upacara tersebut juga dimaksudkan untuk mendapat kemurahan hati para yang kuasa dan untuk menghindarkan diri dari kemarahan para yang kuasa yang seringkali diwujudkan dengan banyak sekali malapetaka dan peristiwa alam. Upacara Larung Samudro, contohnya yang diselenggarakan setiap tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari kemarahan Ratu Pantai Selatan sebagai penguasa Laut Selatan. (Baca juga : Jejak Sejarah)
Adakalanya upacara-upacara itu terkait dengan legenda yang berkembang di kalangan masyarakatnya wacana asal-usul keturunan mereka sehingga upacara itu juga sebagai alat legitimasi wacana keberadaan mereka ibarat yang tertuang dalam kisah rakyat itu. Hal ini tampak dalam upacara Kasodo yang diselenggarakan setiap tahun sekali oleh masyarakat Tengger di sekitar Gunung Bromo.
Bagi sebuah kerajaan besar ibarat Majapahit dan Mataram, upacara-upacara hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan mempunyai arti penting. Upacara tersebut sebagai mengambarkan kebesaran kerajaan, sekaligus juga sebagai alat pemersatu dari wilayah-wilayah yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan pusat. Sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah terdapat kebiasaan untuk merayakan hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara keagamaan maupun kenegaraan. Setelah masuknya agama dan kebudayaan Islam upacara tersebut diwarnai dengan unsur-unsur islami.
Upacara ”Sekaten” misalnya, pada mulanya merupakan upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari Kerafaan Majapahit akhir. Upacara tersebut kemudian diubah menjadi upacara ”Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman kekuasaan Kerajaan Demak. Nama sekaten merupakan penyesuaian makna dari nama ”Jimat Kalimasada” yang berarti (obat mujarab dari Dewi Kali). Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna baru, yaitu Kalimat Syahadat. Oleh alasannya itu, perayaan Sekaten yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram. Bahkan, hingga kini upacara tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam.
Sultan Agung membuatkan rintisan para Wali dengan membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Hari Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya tiga macam Gerebeg, yaitu sebagai berikut.
(a) Gerebeg Pasa, hari raya sehabis selesai berpuasa, yakni hari raya Idul Fitri,
(b) Gerebeg Besar, hari raya Idul Adha, dan
(c) Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad SAW. yang kini menjadi hari peringatan ”Sekaten”.
(d) Upacara Pajang Jimat di Cirebon.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung telah melaksanakan proses penyesuaian (penyesuaian) kebudayaan. Tradisi yang telah berumur usang diubahsuaikan dengan keadaan zaman yang gres yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu.
Sebelum efek Hindu-Buddha hadir, masyarakat kuno di Nusantara telah mengenal iman animisme dan dinamisme. Animisme merupakan iman terhadap roh nenek-moyang yang mendiami benda-benda, ibarat pohon, batu, sungai, gunung, senjata. Sedangkan dinamisme yaitu iman bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang sanggup memengaruhi keberhasilan atau kegagalan insan dalam kehidupan. Jadi, iman animisme dan dinamisme erat bekerjasama dengan alam kosmik, kekuatan alam sekitar dan roh leluhur. Dari iman inilah, upacara ritual kemudian lahir.
Upacara penguburan muncul alasannya keyakinan bahwa roh orang yang gres meninggal akan pergi dan berdiam di suatu tempat yang letaknya tak jauh dari lingkungan tempat ia tinggal semasa hidup. Dengan demikian, jikalau sewaktu-waktu desanya diserang oleh kelompok lain atau desanya diserang wabah penyakit maka roh orang meninggal tersebut sanggup dipanggil kembali untuk membantu menanggulangi keadaan. Upacara penguburan ini dilaksanakan sangat sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya itu tersimpan makna yang dalam bahwa meskipun raga atau tubuh seseorang telah mati namun rohnya tetap hidup dan berada di sekitar orang-orang terdekatnya. Biasanya, mayit yang bersangkutan disimpan di sebuah goa kerikil atau di dalam peti batu.
Di dalam goa atau peti kerikil tersebut disimpan banyak sekali “bekal” untuk keperluan mayit di alam gaib, biasanya berupa alat-alat perhiasan. Hampir di setiap kawasan di Nusantara terdapat upacara ritual penguburan ini.
Selain pada momen penguburan, upacara juga biasanya dilaksanakan pada prosesi pernikahan. Pernikahan merupakan insiden bersejarah bagi sepasang insan yang hendak hidup bersama. Pernikahan, selain melibatkan dua orang yang berbeda kelamin, juga mempertemukan dua buah keluarga. Karena keistimewaannya nilai sebuah perkawinan, insan pun berusaha semoga momentum tersebut diperlakukan secara spesial. Oleh alasannya itu, sebuah upacara pun digelar sebagai tanda bahwa kesepakatan nikah mereka yaitu suci.
Tiap-tiap kawasan di Indonesia mempunyai tata cara yang berbeda dalam hal upacara perkawinan. Masing-masing mempunyai peraturan sendiri. Pada suku Batak dan Bali, misalnya, perkawinan dilangsungkan di rumah pihak lelaki. Sementara, di Sunda atau Jawa kesepakatan nikah diadakan di rumah pihak perempuan.
Upacara pun dilakukan saat seorang didaulat menjadi kepala suku. Sebelum masa praaksara, masyarakat Nusantara telah menganggap pentingnya kedudukan seorang kepala suku dalam sebuah komunitas. Kriteria seorang pemimpin suku ini di antaranya: harus besar lengan berkuasa jasmani-rohani, mempunyai kekuatan magis, kharismatik, dan berpengalaman melebihi orang-orang sekitarnya. Kepala suku ini akan berperan sebagai pelindung sukunya dari banyak sekali bahaya suku lain, hewan liar, dan wabah penyakit. Ia pun akan dijadikan sebagai penasihat bagi anggota sukunya, pemimpin dalam upacara-upacara penguburan atau perkawinan.
Pada masyarakat tradisional, peperangan antar suku merupakan hal lazim terjadi. Biasanya, hal-hal yang menjadi penyebab peperangan ini yaitu persoalan perbatasan wilayah, adanya pertikaian antarpribadi yang berbeda suku asal, mempertahankan harga diri suku masing-masing, atau memang untuk membuktikan siapa pihak terkuat. Oleh alasannya itu, guna memenangkan peperangan masing-masing pihak yang berseteru mengharapkan kekuatan yang lebih. Untuk memperoleh kekuatan itu, mereka minta arwah atau roh leluhur untuk membantu mereka. Secara umum sanggup kita simpulkan bahwa upacara-upacara dikaitkan dengan adanya iman yang menampilkan tokoh yang disakralkan. Di lain pihak upacara-upacara juga sanggup menjelaskan masa kemudian dan kesadaran masyarakat terhadap masa lalunya, contohnya yaitu pada masyarakat agraris dengan upacara penghormatan terhadap Dewi Sri selain itu pada masyarakat pantai muncul upacara untuk menghormati tokoh Nyi Roro Kidul.
Anda kini sudah mengetahui Upacara-Upacara Adat Istiadat di Indonesia : Pengertian, Tujuan, Fungsi, Contoh. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Hendrayana. 2009. Sejarah 1 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Jilid 1 Kelas X. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 202.