Artikel dan Makalah perihal Kehidupan Bercocok Tanam dan Beternak Manusia Purba Di Indonesia - Berikut ini yaitu bahan lengkapnya :
a. Lingkungan Alam
Perkembangan volume otak insan purba mendorong mereka untuk berpikir lebih maju daripada sebelumnya. Dengan kemajuan berpikir, sikap mereka pun makin teratur. Pada masa ini masyarakatnya telah bertempat tinggal menetap, meski suatu dikala bisa berpindah. Ketika bertempat tinggal untuk waktu yang relatif lama, mereka menyiapkan persediaan masakan untuk satu waktu tertentu. Dengan demikian, mereka tak perlu lagi mengembara mencari masakan ke kawasan lain. (Baca juga : Kehidupan Sosial, Ekonomi, Sistem Kepercayaan, Budaya dan Alat-alat Manusia Purba Di Indonesia)
Kehidupan bercocok tanam pertama kali yang dikenal insan purba yaitu berhuma. Berhuma yaitu bercocok tanam dengan cara membersihkan hutan dan kemudian menanaminya. Setelah tanahnya tak subur, mereka mencari hutan lain untuk dihumakan. Setelah bosan berhuma, insan purba segera mencari logika guna mempermudah hidup mereka. Mulailah mereka bercocok tanam dan beternak. Dengan bercocok tanam mereka akan lebih usang bertempat tinggal alasannya yaitu dalam bercocok tanam diharapkan keteraturan waktu dan waktu tersebut tidaklah singkat.
Mungkin sekali jenis-jenis tumbuhan pada tahap awal kegiatan bercocok tanam yaitu ubi, sukun, keladi, dan pisang. Memelihara binatang ternak bertujuan biar mereka tak perlu lagi berburu binatang liar. Mereka tinggal menyembelih binatang ternak mereka.
Kehidupan bercocok tanam dan beternak ini disebut juga sebagai food producting atau menghasilkan masakan sebagai perkembangan dari food gathering atau mengumpulkan makanan.
b. Kehidupan Sosial
Melalui bercocok tanam, insan purba menjadi saling mengenal dengan sesamanya. Hubungan kelompok A dengan kelompok B menjadi lebih erat. Ini terjadi alasannya yaitu dalam memenuhi kehidupannya, mereka dituntut untuk selalu bekerja sama, bergotongroyong. Cara gotong-royong berlaku pula ketika membangun tempat tinggal, di ladang dan sawah, menangkap ikan, merambah hutan.
Adanya kebutuhan hidup mendorong insan purba untuk hidup dengan memanfaatkan alam. Sebelumnya, contoh hidup berburu dan mengumpulkan makakan mengakibatkan jumlah masakan pokok (tumbuhan dan hewan) yang disediakan alam makin menipis. Untuk mengatasi duduk perkara itu, insan kemudian bercocok tanam dan menjinakkan binatang untuk dipelihara.
Dengan kemampuan komunikasi antarsesama mengakibatkan rasa saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan dipilih seorang pemimpin kelompok, setiap orang menerima kiprah sosial. Semakin banyak populasi dan semakin banyaknya kebutuhan insan akan alam, mengakibatkan persaingan antarsesama. Oleh alasannya yaitu itu, dibentuklah suatu tatanan sosial masyarakat yang mesti ditaati oleh anggotanya.
c. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan agraris yang ditimbulkan dari menetapnya tempat tinggal insan purba, mengakibatkan adanya saling ketergantungan antar mereka. Ketergantungan ini di antaranya yaitu ketergantungan akan hasil bumi yang tak dimiliki seseorang atau suatu keluarga. Maka dari itu, mereka membutuhkan orang atau pihak lain yang memunyai hasil bumi yang diperlukannya itu. Dengan demikian, terjadilah kegiatan barter. Aksi tukar barang ini dilakukan dengan cara tukar-menukar hasil bumi. Sistem ini merupakan contoh perdagangan yang primitif sekali. Aktifitas tukar barang ini memungkinkan terbentuknya kelompok baru, yakni kelompok yang khusus menjalankan agresi tukar barang dan berdiam di sebuah tempat yang telah disepakati bersama, yakni pasar tradisional. Di pasar ini mereka menjajakan barang-barang kebutuhan guna ditular oleh barang kebutuhan lain. Hingga kini keberadaan pasar tradisional yang masih memberlakukan sistem tukar barang masih sanggup ditemui di daerah-daerah pedalaman.
d. Budaya dan Hasil Alat yang dihasilkan
Semakin lama, contoh bercocok tanam dan beternak semakin berkembang. Terdorong oleh pergeseran kebutuhan dari semula menanam umbi-umbian menjadi menanam padi, insan lantas menciptakan perkakas yang semakin efektif dan efisien. Mereka mulai memperhalus peralatan mereka. Dari sinilah timbul perkakas-perkakas yang lebih beragama dan maju secara teknologi daripada masa berburu dan mengumpulkan makanan, baik yang terbuat dari batu, tulang, atau pun tanah liat. Hasil-hasil temuan yang mengatakan budaya pada dikala itu yaitu beliung persegi, kapak lonjong, mata panah, gerabah, dan perhiasan.
- Beliung persegi: diduga dipergunakan dalam upacara; banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Semenanjung Melayu, dan beberapa kawasan di Asia Tenggara.
- Kapak lonjong: umumnya terbuat dari kerikil kali yang berwarna kehitam-hitaman; dibuat dengan cara diupam sampai halus; ditemukan di kawasan Maluku, Papua, Sulawesi Utara, Filipina, Taiwan, Cina.
- Mata panah: dipakai sebagai alat berburu dan menangkap ikan; untuk menangkap ikan mata panahnya dibuat bergerigi dan terbuat dari tulang, mata panah untuk menangkap ikan ini banyak ditemukan di dalam goa-goa di pinggir sungai; orang Papua kini masih memakai mata panah untuk menangkap ikan dan berburu, namun terbuat dari kayu.
- Gerabah: terbuat dari tanah liat yang dibakar; dipakai sebagai tempat menyimpan benda-benda perhiasan; biasanya dihiasi motif-motif hias yang indah.
- Perhiasan: terbuat dari tanah liat, kerikil kalsedon, yaspur, dan agat; sanggup berwujud kalung, gelang, anting-anting; jikalau seseorang meninggal maka ia akan dibekali pemanis di dalam kuburannya.
e. Sistem Kepercayaan
Pemujaan terhadap roh atau arwah leluhur tidak hanya terdapat di Indonesia, namun juga hampir di seluruh dunia. Pemujaan ini berawal dari anggapan insan terhadap kekuatan alam. Tanah, air, udara, dan api dianggap sebagai unsur pokok dalam kehidupan semesta. Semua itu diatur dan dijaga oleh suatu kekuatan, kepercayaan inilah yang mengakibatkan munculnya sosok roh sesudah mati.
Sistem kepercayaan masa bercocok tanam ini merupakan kelanjutan dari kepercayan masa sebelumnya. Pada masa bercocok tanam ini insan purbanya telah mengenal anggapan bahwa roh insan sesudah mati dianggap tidak hilang, melainkan berada di alam lain yang tidak berada jauh dari tempat tinggalnya dahulu.
Dengan demikian, alasannya yaitu sewaktu-waktu roh yang bersangkutan sanggup dipanggil kembali jikalau dimintakan bantuannya. Untuk itu, pada dikala seorang mati dikuburkan maka ia dibekali dengan bermacam-macam keperluan sehari-hari, menyerupai pemanis dan periuk. Untuk orang-orang terkemuka (kepala suku atau kepala adat), kuburannya dibuat agak istimewa, terlihat dari bentuknya yang terdiri atas batu-batu besar, menyerupai sarkofagus, peti batu, menhir, dolmen, waruga, punden berundak-undak, dan arca. Masa di mana mulai dibangunnya bangunan-bangunan dari kerikil ini disebut juga masa Megalitikum.
(1) Menhir
Menhir merupakan tugu kerikil yang tegak, tempat pemujaan terhadap arwah leluhur. Menhir ini banyak ditemukan di Sumatera, Sulawesi Tengah, serta Kalimantan. Di kawasan Belubus, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Koto, Sumatera Barat, terdapat menhir yang tingginya 125 cm, berbentuk seperi gagak pedang, baguan lengungannya menghadap Gunung Sago.
(2) Sarkofagus
Sarkofagus yaitu peti mayit yang terbuat dari kerikil lingkaran (batu tunggal). Sarkofagus ini banyak ditemukan di kawasan Bali. Sarkofagus di Bali masih diangap keramat dan magis oleh masyarakat sekitar.
(3) Dolmen
Dolmen yaitu meja kerikil tempat meletakkan sesaji yang akan dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Di bawah dolmen ini biasanya ditemukan kuburan batu.
(4) Kuburan atau Peti Batu
Kuburan kerikil yaitu peti mayit yang terbuat dari kerikil pipih. Kuburan kerikil ini banyak ditemukan di kawasan Kuningan, Jawa Barat, dan Nusa Tengggara.
(5) Waruga
Waruga yaitu kuburan kerikil yang berbentuk kubus atau bulat, terbuat dari kerikil yang utuh. Waruga ini banyak ditemukan di Sulawesi Utara dan Tengah.
(6) Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak yaitu bangunan suci tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dibuat dalam bentuk bertingkat-tingkat atau berundak-udak. Bangunan ini banyak ditemukan di kawasan Lebak Si Bedug, Banten Selatan.
(7) Arca atau Patung
Arca pada masa Megalitikum terbuat dari batu, biasanya berbentuk sosok binatang dan manusia. Jenis binatang yang sering dibuat yaitu gajah, kerbau, harimau, monyet. Arca-arca kerikil ini banyak terdapat di Sumatera selatan, Lampung, Jawa Tengah dan Timur.
Anda kini sudah mengetahui Kehidupan Bercocok Tanam dan Beternak Manusia Purba. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Hendrayana. 2009. Sejarah 1 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Jilid 1 Kelas X. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 202.